Skip to main content

Buku Harian Merah, 23 Juni 2011: Al-Amin dan Pelampung Memalukan (Bagian 1)

Akhirnya ke-17 punggawa akan sampai di Pulau Ende. Pulau kecil yang terletak terpisah dari daratan Pulau Flores yang luas itu. Untungnya Pulau Ende ada di peta jadi kalian bisa cek di google map dimana tepatnya letak Pulau Ende. Setelah kemarin berlelah-lelah bahagia usai acara penyambutan oleh Bupati Ende, kami malam itu istirahat dengan tenang di Pondok Bina Ola Ngari. Di pondok itu kami 15 wanita disatukan dalam satu ruangan yang isinya ada tiga kamar. Ditiap kamarnya ada kasur-kasur tingkat sederhana tapi seru! Kami berebut mau disini dan disana mau sama si ini dan si itu. Haha.

Malam berlalu, pagi pun menjelang. Disambut mentari pagi kami bangun dari tiga kamar diruangan yang sama. Shalat subuh lalu packing. Ya, packing dan unpacking jadi kerjaan sehari-hari selama ini. Menyenangkan! Lalu kami jadi ahli. Setelah rapi, mobil sudah siap diluar pondok menjemput kami. Dikerahkan tiga mobil dinas pemda Ende pagi itu. Kami akan menuju bibir pantai Laut Sawu. Menuju pantai yang menjadi tempat kapal-kapal kecil berlabuh itu harus melalui pasar. Dipastikan pagi di pasar itu jadi berbeda karena tiga mobil parkir sembari unloading barang-barang yang kami bawa.

Dari mulai berkardus-kardus buku bacaan, kardus-kardus peralatan untuk membangun rumah kreatif dan untuk melaksanakan program kerja, kardus printer, dan 17 pelampung oranye menyala yang teramat mencolok (dan menjadi bahan tertawaan warga! Haha) juga bertas-tas besar barang-barang pribadi kami. Dari tas gunung sampai tas tenteng juga kresek-kresek.

Pasar cukup ramai pagi itu, orang-orang tertarik melihat kami ber-17. Sekumpulan orang yang berseragam dengan jaket merah putih membawa begitu banyak barang. Selesai menurunkan barang keperluan kami, kami menunggu di pinggir bibir pantai dan bersiap memakai pelampung memalukan itu. Alasan kenapa memalukan, warga yang setiap hari pulang pergi Ende - Pulau Ende saja tidak pernah memakai pelampung. Masa kami harus pakai pelampung. Meskipun harus menelan malu, pelampung tetap kami pakai karena sudah titah nyonya besar. Haha.

Siap-siap pakai pelampung memalukan.
Saya tidak ada di foto untung foto yang saya pakai ini buram.
Terlebih yang kelihatan kamera si om satu ini.
Photo by: Kamera Samsung Ringsek Rucitra Deasy

Selesai memakai pelampung, kami masih menunggu. Menunggu jadi dinikmati ketika bahagia. Dari jauh di sisi Ende, titik-titik Pulau Ende sudah terlihat. Beberapa bukit dan gunung cukup tinggi menjulang hingga bisa terlihat dari sebrang. Saya kira pulau sebrang yang terlihat dekat bisa ditempuh dalam beberapa menit.

Kami masih duduk-duduk dipinggir pantai sambil berardu argumen apa harus lepas sepatu karena takut basah atau tidak. Juga, berapa lama kami akan sampai. Juga, katanya Laut Sawu cukup seram karena termasuk laut dalam. Akhirnya waktu untuk menyebrang tiba dan pikiran-pikiran itu buyar. Kami siap berangkat apapun yang terjadi.

Cuaca cerah mengiringi kami, sampan-sampan siap mengantar kami ke kapal mesin yang tak bisa menepi. Kapal mesin yang oleh orang sana juga disebut kapal rakyat bernama "Al-Almin". Sampan pun bolak-balik mengantar kami ber-17 ke Al-Amin. Belum apa-apa celana kami sudah basah, keputusan tepat kami sudah lepas sepatu dan memilih telanjang kaki. Tak lupa sebelum naik sampan kami melambaikan tangan tanda perpisahan pada beberapa petugas baik hati yang telah mengantar kami hingga bibir pantai. Namun, Kak Ahmad Abdurrahman mengantar kami hingga Pulo. Mulai saat ini kita panggil Pulau Ende seperti warga Ende memanggil pulau kecil itu, Pulo, sederhana ya.

Kenapa Kak Ahmad yang mengantar kami dari Bappeda, karena tentu Kak Ahmad seorang muslim. Selain kami ber-17 muslim mungkin beberapa orang tidak tahu bahwa penduduk Pulau Ende di daratan Flores yang rata-rata beragama Kristen ternyata 100% penduduknya muslim. Kemudian baru diketahui bahwa warga Pulo acap kali lebih menerima muslim datang kesana. Maka, Kak Ahmad lah yang sering kali mengurus kami. Padahal, bagi kami atau saya agama tak akan pernah menjadi masalah dalam berhubungan sesama manusia.

Ya, dan kami semua sudah berada di Al-Amin, sebuah kapal mesin yang bertingkat. Kami bisa duduk-duduk diatas sambil lihat lautan luas Sawu. Tadi, saya bilang bisa sampai dalam beberapa menit saja kan? Tapi ternyata setelah dihitung oleh jam tangan saya butuh waktu 1 jam 30 menit untuk benar-benar sampai di Pulo.

Comments

Popular posts from this blog

Kukar yang Mengakar

Terbang jauh ke Pulau Kalimantan, bukan pertama kali tapi selalu berkesan. Mendarat di Balikpapan menyebrang ke Samarinda hingga berkelana ke Kutai Kartanegara. Dua kota, satu kabupaten, dalam satu waktu. Itu rute yang ditempuh untuk mencari akar sejarah bangsa. Lebih tepatnya, akar sejarah agama Hindu di Indonesia. Kukar, mereka menyederhanakan kabupaten bernama Kutai Kartanegara. Kukar yang Mengakar Saat itu, sekitar 300-an Masehi, cukup “jauh” dari tahun 2019. Kira-kira 1719 tahun yang lalu berdirilah satu kerajaan Hindu di Kutai. Raja pertamanya bernama Kudungga. Ia memiliki cucu yang bernama Mulawarman. Generasi ketiga dari Sang Kudungga itu meninggalkan tugu peringatan. Tugu itu diberikan oleh para Brahmana, sebagai “penanda” sifat kedermawanan Sang Mulawarman. Yupa ke 8, tak bisa sembarangan kita mengunjungi Yupa tersebut bahkan ketika didampingi oleh penjaga Yupa. Tugu yang dihadiahkan dari para Brahmana itu kini seolah menjadi akar sejarah. Sejarah mengenai k

Si Roco dan Dharmasraya yang Raya

Candi Induk di Kawasan Percandian Padang Roco Sumber: Omar Mohtar Mendaki bukit, melewati sungai, menyeruak rawa dan hutan, memanjat pagar, digigit nyamuk ganas dan berkunjung ke rumah ular. Setidaknya itu yang terlintas jika mengingat perjalanan ke Kabupaten Dharmasraya. Jangan bilang kalian baru dengar tentang Kabupaten Dharmasraya? Ya, saya juga baru dengar ketika harus ditugaskan kesana 2018 lalu. Sedikit informasi tentang Kabupaten Dharmasraya , kabupaten ini merupakan daerah hasil pemekaran kabupaten Sawahlunto/Sijunjung pada 2004. Seperti namanya, Dharmasraya begitu raya. Raya akan nilai sejarah dan tinggalan arkeologis. Konon, meskipun ini bisa dibuktikan dengan tinggalan berupa prasasti yang ditemukan, di Dharmasraya ini lah berdiri ibukota dari Kerajaan Melayu pada waktu itu. Pemandangan dari Candi Bukik Awang Maombiak Taken by: Omar Mohtar Menembus 200 kilometer jalan darat dari Bandara Minangkabau di Padang Pariaman menuju Dharmasraya, bahagianya

Pulau Indah nan Misterius itu Bernama Sagori

“ Mengenal Lebih Dekat Pulau Indah Bernama Sagori ” Adi dan Hana, Anak-Anak Bahagia di Pulau Sagori Pulau Sagori, nama yang asing oleh kebanyakan masyarakat Indones ia . Bahkan, di peta saja pulau ini belum tergambar. Namun ternyata pulau ini mengandung sejarah signifikan eksistensi kompeni Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie yang disingkat VOC pada saat melakukan pelayaran di lautan Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya kita dapat sedikit mengenal lebih dekat Pulau Sagori. Pulau Sagori terletak secara administratif di Kelurahan Sikeli, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Nama Sagori, konon menurut penduduk setempat didapatkan dari sebuah nama wanita yang pernah terdampar di pulau ini. Sebelum ia mati ia sempat menyebutkan kata “Sagori.. Sagori..” Terlepas apakah ini benar atau tidak namun cerita ini telah turun temurun tersampaikan. Lalu, apa pentingnya pulau yang tak dikenal banyak oleh masyarakat Indonesia bahkan tak ada