Skip to main content

Buku Harian Merah, 22 Juni 2011: Injak-Injak Kaki Pertama Kali di Maumere Hingga Ende (Bagian 1)

Pada hari Rabu pagi sekitar pukul 07.00 kami kelompok Pulau Ende meninggalkan KRI Teluk Mandar - 514. Kapal berlabuh di pelabuhan Maumere (Ruc: Maumere ada di Utara Pulau Flores sedangkan Pulau Ende ada dibagian selatan. Buka peta ya!). Dari Pelabuhan Maumere kami menunggu mobil jemputan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Ende. Cukup lama kami menunggu sempat mengisi baterai telepon genggam yang hampir mati dan sudah mati sambil tertidur. Kami menunggu di kantor pelabuhan yang sepertinya lama tak dihuni. Hanya meja seadanya dan kursi-kursi tunggu yang sudah keropek.

Terlebih saat saya ingin ke kamar mandi tak ada air sama sekali disana. Entah karena memang kesulitan air atau kantor itu lama tak dijamah. Ngomong ngomong, kami disambut amat ramah oleh Kepala Pelabuhan beserta jajarannya. Asal kalian tahu, Tak seperti perawakan orang Timur yang gagah besar dan menyeramkan, dibalik nada-nada tinggi mereka, mereka jauh lebih tulus dan baik daripada orang sini. Stigma ini harus pelan-pelan dirubah. Nanti ke anak cucu juga wajib. Sekitar 1 hingga 2 jam kami menunggu. Tertawa, mengobrol, istirahat, dan menikmati lautan bening di Pelabuhan juga lihat-lihat kapal-kapal yang parkir disana.

Ini Pelabuhan Maumere. Bergaris Karena Kamera Aku Rusak di Perjalanan
Photo By: Kamera Samsung Ringsek Rucitra Deasy


Ternyata sebuah minibus yang menjemput kami bukan mobil. Akhirnya kami mulai bergerak dari Pelabuhan Maumere menuju perjalanan panjang ke Selatan Flores Kabupaten Ende. Senaaaang! Tapi tunggu.. Ternyata kami harus menghadapi pengalaman lucu. Harus percaya kalau minibus yang kami tunggu-tunggu, tak jauh dari pelabuhan hanya sekitar 5 menit itu berhenti. Si minibus yang terlambat hadir karena masalah komunikasi dan bilang kami akan sampai pukul 09.00 dan ternyata kami sudah tiba pukul 07.00 itu mesinnya mati, atau, m-o-g-o-k. (Ruc: Pada saat itu tentu saya panik dan sedikit kesal karena menunggu lama, tapi kini saya tertawa. Ha!).

Cukup lama kami menunggu minibus dibetulkan. Ada yang sempat ke warung internet, ada yang jajan-jajan, saya? Melakukan hobi saya: TIDUR. 1 jam  berlalu.. 2 jam berlalu.. Minibus biru itu tak kunjung mau menyala. Syukurlah, datang Kak Hery seorang petugas Bappeda Kabupaten Ende datang menyelamatkan kami. Ia pun memutuskan untuk untuk menyewa bus komersial jurusan Maumere - Ende dengan nama heroik "Sang Prabu". Dramatis bukan? Berkat bantuan Kak Hans adik Kak Hery akhirnya siang itu iya siang sekali sekitar pukul 11 atau 12 kami baru melepaskan kaki dari Pelabuhan Maumere. Penuh dengan barang akhirnya sebagian anak -termasuk saya- naik ke mobil kantor yang dibawa Kak Hery dan Kak Forkas (kakak baik petugas Bappeda yang menyupiri Maumere - Ende). Sedangkan Kak Hans naik bus bersama anak lainnya.


Rucitra Deasy Mau Punya Kenangan di Pelabuhan Maumere.
Berlatar Kapal Barang yang Sedang Parkir Disana.
Photo By: Kamera Samsung Ringsek Rucitra Deasy

Tak sempat makan siang, karena sudah disiapkan di penginapan kami lalu melaju menuju Ende dengan harapan bisa cepat sampai. Perut semakin lapar ternyata, karena tak kunjung sampai. Pun tidak ada warung makan di sepanjang jalan itu. Sore barulah kami sampai di daerah bernama Wolowaru katanya sudah dekat ke Ende. Kami pun sudah tak niat makan dan diberitahu kalau di hotel sudah disiapkan makanan untuk kita. Kami urung makan dan hanya mengisi perut dengan teh hangat sambil melepas lelah. Ternyata, tidak seperti yang ditakutkan selama di kampus harga disana tidak mahal. Hanya berbeda sekitar Rp. 1000 - Rp. 2000. Mungkin karena ini masih di kota. Setelah selesai beristirahat kami melanjutkan perjalanan. Wolowaru oh Wolowaru menuju Ende. 

Dengan penuh harap segera sampai Ende dan istirahat disertai perut lapar, perjalanan Maumere - Ende luar biasa. Memabukkan. Jalanan yang berliku-liku dengan dahsyatnya ini sempat membuat beberapa teman tak kuat menahan rasa mual. Lika-liku jalan itu tak pernah selesai. Ketika tikungan ke kiri belum selesai dilalui tiba-tiba tikungan kekanan sudah muncul. Ya, begitulah perjalanan darat menakjubkan kami. Tetapi seperti yang sudah-sudah, saya salah satu manusia yang menikmati perjalanan ketimbang saat sampai tujuan. Jadi, harus diakui bahwa perjalanan sekitar 6 jam itu menakjubkan. Kalau senang, apapun baik-baik saja. Saya tak mual sama sekali. Hihi. 

Perjalanan ini begitu menyenangkan terlebih di lika-liku jalan itu saya dimanjakan Yang Kuasa. Pemandangan ala lukisan di daratan Flores luar biasa. Jurang disisi kiri memberikan lekukan-lekukan badan gunung yang hijau nan indah. Tebing-tebing di sisi kanan tak kalah menawan. Tinggi curam menutupi atap kendaraan. Merkeka berdua, membentuk sajian lengkap panorama. Ah, indah. Terlalu indah untuk saya.

to be continued..


Ps: tulisan mengalami banyak perubahan dari si buku merah. Karena di buku tugas itu gak bisa nulis seenak jidat. Terlebih saya masih punya ingatan kuat disana yang tak tersampaikan dalam tulisan di buku merah. But, thanks for remembering me dear buku merah.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kukar yang Mengakar

Terbang jauh ke Pulau Kalimantan, bukan pertama kali tapi selalu berkesan. Mendarat di Balikpapan menyebrang ke Samarinda hingga berkelana ke Kutai Kartanegara. Dua kota, satu kabupaten, dalam satu waktu. Itu rute yang ditempuh untuk mencari akar sejarah bangsa. Lebih tepatnya, akar sejarah agama Hindu di Indonesia. Kukar, mereka menyederhanakan kabupaten bernama Kutai Kartanegara. Kukar yang Mengakar Saat itu, sekitar 300-an Masehi, cukup “jauh” dari tahun 2019. Kira-kira 1719 tahun yang lalu berdirilah satu kerajaan Hindu di Kutai. Raja pertamanya bernama Kudungga. Ia memiliki cucu yang bernama Mulawarman. Generasi ketiga dari Sang Kudungga itu meninggalkan tugu peringatan. Tugu itu diberikan oleh para Brahmana, sebagai “penanda” sifat kedermawanan Sang Mulawarman. Yupa ke 8, tak bisa sembarangan kita mengunjungi Yupa tersebut bahkan ketika didampingi oleh penjaga Yupa. Tugu yang dihadiahkan dari para Brahmana itu kini seolah menjadi akar sejarah. Sejarah mengenai k

Si Roco dan Dharmasraya yang Raya

Candi Induk di Kawasan Percandian Padang Roco Sumber: Omar Mohtar Mendaki bukit, melewati sungai, menyeruak rawa dan hutan, memanjat pagar, digigit nyamuk ganas dan berkunjung ke rumah ular. Setidaknya itu yang terlintas jika mengingat perjalanan ke Kabupaten Dharmasraya. Jangan bilang kalian baru dengar tentang Kabupaten Dharmasraya? Ya, saya juga baru dengar ketika harus ditugaskan kesana 2018 lalu. Sedikit informasi tentang Kabupaten Dharmasraya , kabupaten ini merupakan daerah hasil pemekaran kabupaten Sawahlunto/Sijunjung pada 2004. Seperti namanya, Dharmasraya begitu raya. Raya akan nilai sejarah dan tinggalan arkeologis. Konon, meskipun ini bisa dibuktikan dengan tinggalan berupa prasasti yang ditemukan, di Dharmasraya ini lah berdiri ibukota dari Kerajaan Melayu pada waktu itu. Pemandangan dari Candi Bukik Awang Maombiak Taken by: Omar Mohtar Menembus 200 kilometer jalan darat dari Bandara Minangkabau di Padang Pariaman menuju Dharmasraya, bahagianya

Pulau Indah nan Misterius itu Bernama Sagori

“ Mengenal Lebih Dekat Pulau Indah Bernama Sagori ” Adi dan Hana, Anak-Anak Bahagia di Pulau Sagori Pulau Sagori, nama yang asing oleh kebanyakan masyarakat Indones ia . Bahkan, di peta saja pulau ini belum tergambar. Namun ternyata pulau ini mengandung sejarah signifikan eksistensi kompeni Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie yang disingkat VOC pada saat melakukan pelayaran di lautan Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya kita dapat sedikit mengenal lebih dekat Pulau Sagori. Pulau Sagori terletak secara administratif di Kelurahan Sikeli, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Nama Sagori, konon menurut penduduk setempat didapatkan dari sebuah nama wanita yang pernah terdampar di pulau ini. Sebelum ia mati ia sempat menyebutkan kata “Sagori.. Sagori..” Terlepas apakah ini benar atau tidak namun cerita ini telah turun temurun tersampaikan. Lalu, apa pentingnya pulau yang tak dikenal banyak oleh masyarakat Indonesia bahkan tak ada