Skip to main content

Buku Harian Merah: 2 Tahun Lalu Disana Hari Ini..

Mengenang 2 tahun setelah menginjakkan kaki pertama kalinya di Pulau Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 22 Juni 2011. Dan untungnya kami para punggawa diwajibkan menulis buku harian yang dulu kami umpat dan kini saya syukuri, terpikir untuk dicoretkan juga di blog yang udah mendekati buluk ini.

Sepertinya memang yang berkuasa sudah kirim-kirim kode buat disimpen disini. Beberapa hari lalu, setelah mensyukuri betapa pentingnya blog saya yang akhirnya menjadi pertimbangan diterimanya saya ditempat kerja kemarin, saya niat banget nyari-nyari buku sampul merah kertas untuk bungkus kue wajik ini.

Sampai akhirnya ketemu, dan sampul masih rapi. Setelah dibuka secara mengejutkan tanggal pertama kali kami sampai disana adalah tanggal 22 Juni 2011. Baiklah, sudah kode untuk diposting perhari sesuai tanggal dua tahun lalu kami disana. Dua Minggu yang begitu bermakna dan tidak bisa terbayarkan oleh apapun.

Buku Merah Sampul Kertas Wajik
dan Identitas Pemiliknya -Saya-. Haa
Photo by: Samsung Galaxy Ace+ Rucitra Deasy
Buku tulis yang tidak setengahnya pun terisi awalnya ditulis dengan niat. Saking takutnya sama Nyonya Besar yang tiap hari menanyakan (atau bisa disebut juga dengan neror :p) kabar kami disana. Tapi karena sibuk mengurus program kerja dan terlalu bahagia bersama warga. Kami, atau mulai saat ini sebut saja saya, suka sekali lupa nulis. Sampai pada akhirnya mepet kepulangan dan akan kembali dijemput Kapal Perang RI Teluk Mandar 514 (KRI) di Maumere tergesa-gesa kami semua menulis secara asal itu buku merah. Semacam akan dicekek. Saling mengingatkan hari itu kita mengerjakan apa dan ipi. Ah, that's what friends are for!

Tetap saja, tak beres dikerjakan di pulau. Dengan terpaksa buku menyeramkan ini dengan berani kami bawa ke KRI. Oke, -saya- bawa ke KRI. Kenapa selalu lupa dengan kata kami, karena kami yang ber 17 ini memang satu nasib. Tidak pernah sempat nulis karena kerja kami serupa tapi tak sama. Tapi memang tidak adil kalau harus bawa-bawa kami kalau ternyata yang nulis saya seorang. Hehe.

Kami sudah dijemput KRI, sejenak lupa buku merah itu karena bertemu kawan-kawan pulau lain. Berharap buku itu tidak ditanyakan. Tapi ternyata saya salah. Nyonya Besar yang memang terpaksa saya kagumi itu benar-benar menagih! "Jangan lupa buku harian dikumpulkan malam ini," katanya.

Panik, saya dan teman-teman kembali ke barak. Mengambil buku dan secara serampangan menulis. Tapi saya tetap jujur dengan tulisan harian itu. Benar-benar mengingat dan menuliskan temuan-temuan penting apa saja yang saya temui disana. Terutama menyangkut program kerja saya. Cuma satu niat saya, bisa memberikan warga Pulau Ende yang terbaik. Berharap dari buku harian itu kampus saya beserta TNI tercinta bisa membantu mereka. Dan akhirnya, si dateliner ini selesai juga menulis buku hariannya selama di Pulau Ende.

Beberapa minggu atau bulan saya lupa, buku merah itu ada ditangan Nyonya Besar. Sesampainya kami di rumah masing-masing dan menikmati liburan juga istirahat. Akhirnya ada kabar buku merah itu boleh diambil dan bisa sekaligus mengambil majalah UI Update bertema perjalanan ini. Ternyata, si Nyonya besar yang memang sudah di cap menyeramkan dan gemar memberi nilai sesuai pekerjaan (yang artinya dia pelit nilai -katanya-) itu memberikan komentar positif di halaman terakhir tulisan di buku harian saya.

Pasti temen-temen lain juga diberikan komentar yang sama. Maksudnya sesuai dengan pekerjaan mereka. Katanya Nyonya besar begini (meskipun tulisannya sulit ditebak. Semacam tulisan purba):

Catt : Untuk/Ananda (?) Rucitra kamu cukup jeli mengamati (?). Sebenarnya kamu punya kemampuan untuk mendeskripsikan dengan detail (?) arti baik berupa pengamatan mampu (?). Sayangnya dari diary ini belum maksimal (?) (?). Tetaplah menulis dan meneliti setiap perjalanan lapangan kamu yang (?), Semangat!!!
 
Tulisan Nyonya Besar yang teramat sulit untuk saya baca.
Tolong yang bisa baca saya dibantu.
Photo by: Samsung Galaxy Ace+ Rucitra Deasy

Begitulah, jadi mulai hari ini tanggal 23 Juni saya akan nulis dua! Tanggal 22 yang sudah kadung terlewat kemarin, dan tanggal 23 hari ini. Dan akan terus berlanjut hingga buku harian ini selesai tanggal 19 Juli. Dipastikan akan banyak tulisan saya. Muahahahahaha. Semoga bisa konsisten. Juga akan di update tulisan-tulisan dibuang sayangnya saya. :p

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kukar yang Mengakar

Terbang jauh ke Pulau Kalimantan, bukan pertama kali tapi selalu berkesan. Mendarat di Balikpapan menyebrang ke Samarinda hingga berkelana ke Kutai Kartanegara. Dua kota, satu kabupaten, dalam satu waktu. Itu rute yang ditempuh untuk mencari akar sejarah bangsa. Lebih tepatnya, akar sejarah agama Hindu di Indonesia. Kukar, mereka menyederhanakan kabupaten bernama Kutai Kartanegara. Kukar yang Mengakar Saat itu, sekitar 300-an Masehi, cukup “jauh” dari tahun 2019. Kira-kira 1719 tahun yang lalu berdirilah satu kerajaan Hindu di Kutai. Raja pertamanya bernama Kudungga. Ia memiliki cucu yang bernama Mulawarman. Generasi ketiga dari Sang Kudungga itu meninggalkan tugu peringatan. Tugu itu diberikan oleh para Brahmana, sebagai “penanda” sifat kedermawanan Sang Mulawarman. Yupa ke 8, tak bisa sembarangan kita mengunjungi Yupa tersebut bahkan ketika didampingi oleh penjaga Yupa. Tugu yang dihadiahkan dari para Brahmana itu kini seolah menjadi akar sejarah. Sejarah mengenai k

Si Roco dan Dharmasraya yang Raya

Candi Induk di Kawasan Percandian Padang Roco Sumber: Omar Mohtar Mendaki bukit, melewati sungai, menyeruak rawa dan hutan, memanjat pagar, digigit nyamuk ganas dan berkunjung ke rumah ular. Setidaknya itu yang terlintas jika mengingat perjalanan ke Kabupaten Dharmasraya. Jangan bilang kalian baru dengar tentang Kabupaten Dharmasraya? Ya, saya juga baru dengar ketika harus ditugaskan kesana 2018 lalu. Sedikit informasi tentang Kabupaten Dharmasraya , kabupaten ini merupakan daerah hasil pemekaran kabupaten Sawahlunto/Sijunjung pada 2004. Seperti namanya, Dharmasraya begitu raya. Raya akan nilai sejarah dan tinggalan arkeologis. Konon, meskipun ini bisa dibuktikan dengan tinggalan berupa prasasti yang ditemukan, di Dharmasraya ini lah berdiri ibukota dari Kerajaan Melayu pada waktu itu. Pemandangan dari Candi Bukik Awang Maombiak Taken by: Omar Mohtar Menembus 200 kilometer jalan darat dari Bandara Minangkabau di Padang Pariaman menuju Dharmasraya, bahagianya

Pulau Indah nan Misterius itu Bernama Sagori

“ Mengenal Lebih Dekat Pulau Indah Bernama Sagori ” Adi dan Hana, Anak-Anak Bahagia di Pulau Sagori Pulau Sagori, nama yang asing oleh kebanyakan masyarakat Indones ia . Bahkan, di peta saja pulau ini belum tergambar. Namun ternyata pulau ini mengandung sejarah signifikan eksistensi kompeni Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie yang disingkat VOC pada saat melakukan pelayaran di lautan Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya kita dapat sedikit mengenal lebih dekat Pulau Sagori. Pulau Sagori terletak secara administratif di Kelurahan Sikeli, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Nama Sagori, konon menurut penduduk setempat didapatkan dari sebuah nama wanita yang pernah terdampar di pulau ini. Sebelum ia mati ia sempat menyebutkan kata “Sagori.. Sagori..” Terlepas apakah ini benar atau tidak namun cerita ini telah turun temurun tersampaikan. Lalu, apa pentingnya pulau yang tak dikenal banyak oleh masyarakat Indonesia bahkan tak ada