Skip to main content

Buku Harian Merah, 22 Juni 2011: Makanan Aneh Tapi Enak Hingga Menari Gawi Sampai Lelah (Bagian 2)

Akhirnya, akhirnya, yang ditunggu menghampiri. Kami sampai di Kabupaten Ende. Yeay! Pondok Bina Ola Ngari namanya. Tempat kami akan bermalam hari ini. Pukul 17.00 saat akhirnya kami makan siang kesorean. Ah, nikmat. Kami disambut, oleh beberapa petugas Bappeda yang sudah menunggu kami dari siang dan sudah menyiapkan makanan ini. Sambil beramah tamah bersama Ibu Veronica dan Bapak Ahmad Abdurrahman yang katanya salah satu petugas muslim di Bappeda yang jarang ditemui disana, kami diberi tahu kalau ternyata Bapak Bupati Ende ingin bertemu pada pukul 19.00.

Kami menamakan diri Geng Ende Kece. 17 orang, 15 wanita, 2 pria.
Cantik dan tampan pakai batik semua dan wangi. Hehe
Photo by: Kamera Samsung Ringsek Rucitra Deasy
Ya, dan terbayang 15 wanita 2 lelaki harus mengatur waktu untuk rapi-rapi hanya dalam 2 jam setelah perjalanan menakjubkan tadi. Setengah jam sudah habis untuk makan dan ngobrol dan kami akan dijemput pukul 18.30. Berarti hanya ada waktu 1 jam untuk kami para wanita yang 80%-nya pakai jilbab untuk rapi-rapi. Teramat hiruk pikuk sore itu. Such a tight yet fun schedule! ^^


Lalu, sampailah kami di rumah jabatan Bapak Bupati Kabupaten Ende yang ternyata letaknya tak jauh dari tempat kami menginap. Yang saya tangkap, hal ini luar biasa untuk saya. Kami ini hanya mahasiswa bau kencur untuk apa disambut begitu antusias oleh pejabat pemerintah setempat. Yang saya tahu itu artinya mereka menghargai kami. Kami datang dengan misi dan kami didukung sepenuhnya bukan disepelekan seperti yang kerap terjadi disini. Haa.

Jalannya diskusi malam itu teramat menyenangkan. Meskipun begitu formal yang biasanya saya hobi ngomong nonsense. Malam itu karena saya kebetulan ketua kelompok terpaksa bicara formal dan santun. Anggun seperti biasanya. Ha! Bercanda.

Setiap perwakilan kelompok menjelaskan apa saja yang akan kami lakukan selama sebulan kami disana dan niat baik kami, syukurnya diterima baik juga oleh pemerintah setempat. Selain itu, kami juga diberikan gambaran jelas mengenai Pulau Ende. Dari kependudukan, agama, administrasi, semua. Dan itu cukup.

Diskusi usai, acara pun berlanjut dengan.. Ramah Tamah. Ya, nama lainnya makan malam. Hehe. Luar biasa pesta sederhana itu. Saya yang tipe pemilih makanan malam itu mau rakus. Habis tidak tahu kapan lagi kami akan kesini dengan makanan khas daerahnya. Mencoba itu wajib, suka atau tidak itu urusan selanjutnya.

Malam itu, kami disuguhi 2 macam masakan ayam yang begitu lezat (Ruc: mencoba mengingat tapi benar-benar lupa. Pun tidak ditulis oleh si Rucitra dua tahun lalu ayam nya itu bagaimana. -_-). Selain ayam, disuguhi juga sambal. Sambal khas Ende mungkin, didalamnya ada timun, tomat, dengan rasa yang cukup pedas untuk saya. Juga disajikan sayur sop, kerupuk, nasi merah, dan yang paling dahsyat dan utama yang menjadi highlight malam itu adalah... Jagung Bose (Ruc: lupa pula rasanya asin atau manis saat itu. Ack. Tapi asli enak! Soalnya dibuku tertulis enak). Jagung Bose ini makanan khas orang NTT.

Selain makanan-makanan yang sungguh mengenyangkan tadi, Bupati dan jajarannya itu mengajari kami tarian khas Ende yaitu Tari Gawi. Tarian ini mengutamakan gerak kaki. Langkah per langkah mengikati irama yang lama-lama (Ruc: hingga kini) terngiang-ngiang.

Usai Menari Gawi Kami Lelah Lalu Ngobrol
Photo by: Kamera Samsung Ringsek Rucitra Deasy
Lelah tapi bahagia, itulah makna malam itu. Bertemu orang-orang yang saling menghargai. Berbagi asa dan rasa. Saling penuh harap untuk bisa memajukan Pulau Ende. Saling tertawa bersama, semua tak ada beban. Saya siap menghadapi hari-hari di Pulau Ende.

Ps: Maaf sekali Bapak Bupati Ende saya lupa catat nama Bapak. Dimaafkan ya. :D

Comments

Popular posts from this blog

Kukar yang Mengakar

Terbang jauh ke Pulau Kalimantan, bukan pertama kali tapi selalu berkesan. Mendarat di Balikpapan menyebrang ke Samarinda hingga berkelana ke Kutai Kartanegara. Dua kota, satu kabupaten, dalam satu waktu. Itu rute yang ditempuh untuk mencari akar sejarah bangsa. Lebih tepatnya, akar sejarah agama Hindu di Indonesia. Kukar, mereka menyederhanakan kabupaten bernama Kutai Kartanegara. Kukar yang Mengakar Saat itu, sekitar 300-an Masehi, cukup “jauh” dari tahun 2019. Kira-kira 1719 tahun yang lalu berdirilah satu kerajaan Hindu di Kutai. Raja pertamanya bernama Kudungga. Ia memiliki cucu yang bernama Mulawarman. Generasi ketiga dari Sang Kudungga itu meninggalkan tugu peringatan. Tugu itu diberikan oleh para Brahmana, sebagai “penanda” sifat kedermawanan Sang Mulawarman. Yupa ke 8, tak bisa sembarangan kita mengunjungi Yupa tersebut bahkan ketika didampingi oleh penjaga Yupa. Tugu yang dihadiahkan dari para Brahmana itu kini seolah menjadi akar sejarah. Sejarah mengenai k

Si Roco dan Dharmasraya yang Raya

Candi Induk di Kawasan Percandian Padang Roco Sumber: Omar Mohtar Mendaki bukit, melewati sungai, menyeruak rawa dan hutan, memanjat pagar, digigit nyamuk ganas dan berkunjung ke rumah ular. Setidaknya itu yang terlintas jika mengingat perjalanan ke Kabupaten Dharmasraya. Jangan bilang kalian baru dengar tentang Kabupaten Dharmasraya? Ya, saya juga baru dengar ketika harus ditugaskan kesana 2018 lalu. Sedikit informasi tentang Kabupaten Dharmasraya , kabupaten ini merupakan daerah hasil pemekaran kabupaten Sawahlunto/Sijunjung pada 2004. Seperti namanya, Dharmasraya begitu raya. Raya akan nilai sejarah dan tinggalan arkeologis. Konon, meskipun ini bisa dibuktikan dengan tinggalan berupa prasasti yang ditemukan, di Dharmasraya ini lah berdiri ibukota dari Kerajaan Melayu pada waktu itu. Pemandangan dari Candi Bukik Awang Maombiak Taken by: Omar Mohtar Menembus 200 kilometer jalan darat dari Bandara Minangkabau di Padang Pariaman menuju Dharmasraya, bahagianya

Pulau Indah nan Misterius itu Bernama Sagori

“ Mengenal Lebih Dekat Pulau Indah Bernama Sagori ” Adi dan Hana, Anak-Anak Bahagia di Pulau Sagori Pulau Sagori, nama yang asing oleh kebanyakan masyarakat Indones ia . Bahkan, di peta saja pulau ini belum tergambar. Namun ternyata pulau ini mengandung sejarah signifikan eksistensi kompeni Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie yang disingkat VOC pada saat melakukan pelayaran di lautan Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya kita dapat sedikit mengenal lebih dekat Pulau Sagori. Pulau Sagori terletak secara administratif di Kelurahan Sikeli, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Nama Sagori, konon menurut penduduk setempat didapatkan dari sebuah nama wanita yang pernah terdampar di pulau ini. Sebelum ia mati ia sempat menyebutkan kata “Sagori.. Sagori..” Terlepas apakah ini benar atau tidak namun cerita ini telah turun temurun tersampaikan. Lalu, apa pentingnya pulau yang tak dikenal banyak oleh masyarakat Indonesia bahkan tak ada