Skip to main content

Buku Harian Merah, 23 Juni 2011: Akhirnya Kami di Pulo, Rendoraterua Desa Kami Berpijak Pertama Kali (Bagian 2)

Ya, dan tepat pukul 12.00 kami sampai di tempat kami akan menjalin hubungan baik dengan warga. Di Pelabuhan di Desa Rendoraterua, sudah siap menerima kami para petugas kecamatan. Tak lupa kami menurunkan barang kami yang setumpuk dan berat itu dari Al-Amin. Ah dan tentu saja warga Pulo bergotong royong membantu kami. Mereka tak perlu diminta, saya tahu mereka tulus.

Belum selesai kami menurunkan barang, kami sudah dijemput oleh motor untuk segera menuju ke kantor camat. Warga yang membantu bilang akan mengantarkan barang-barang kami ke kantor camat. Sambil berkenalan dengan yang memboncengi saya, Kak Adin, namanya (Ruc: biasanya saya orang yang tidak penasaran dan jarang nanya nama bahkan sering lupa nama orang) ia ramah penuh senyum, mengantarkan saya ke kantor camat.

Sesampainya di kantor camat ternyata kami sudah ditunggu oleh para kepala desa, ibu dan bapak asuh yang siap menampung kami, bapak Kapolsek Pulau Ende, bapak dosen pembimbing kami dari Universitas Flores, Willy, namanya, dan tentu saja bapak camat Kecamatan Pulau Ende. Setelah kami hadir kami disambut baik oleh mereka. Kami masuk ke ruangan sederhana di kantor kecamatan yang sudah disediakan banyak kursi untuk kami.


Setelah hadir, akhirnya dimulai acara penyambutan yang tentu saja dilakukan dengan pidato oleh bapak camat. Lalu, acara pun dilanjutkan dengan berdiskusi mengenai program kerja yang akan kami lakukan selama di Pulo. Akhirnya, setelah penjabaran dilakukan oleh ketua geng, program kerja kamipun diterima dengan baik. Lalu acara berlanjut dengan pembagian desa. Saya benar-benar tidak tahu kalau ternyata kami akan dipisahkan tempat tinggalnya. Tapi, kami menerima dengan baik itikad mereka. Mereka menginginkan 17 orang ini tinggal disetiap desa di Pulo.

Semua warga berebut menerima kami, atau saya saja yang terlalu percaya diri. Haha. Ah, rasanya terlalu luar biasa mengetahui bahwa kami yang pendatang ini begitu diterima dengan baik. Akhirnya, kami punya rumah masing-masing. Hadir disitu para Ibu dan Bapak asuh yang siap menerima kami. Dengan berbagai pertimbangan kami memilih desa kami masing-masing. Berdiskusi cukup alot untuk menentukan desa mana yang paling cocok dengan program kerja yang kami usung. Yang saya ingat, karena kelompok 3 itu mengelola potensi wisata Pulo, berdasar diskusi dengan camat dan warga yang hadir, kelompok 3 memilih tinggal di Desa Puutara dan Rorurangga. Karena, menurut warga mereka senang pergi ke Pantai Ekoreko di Rorurangga dan Pantai Ngazu Kappu di Puutara untuk berwisata karena indah.

Sedangkan kelompok 2, yang memiliki program kerja untuk kesehatan dan pembinaan warga lanjut usia memilih tinggal di Desa Rendoraterua dan Paderape. Karena, diketahui bahwa warga yang memiliki lansia terbanyak terletak di dua desa pusat administrasi Pulau Ende ini. Kelompok 4 termasuk saya didalamnya yang memiliki program kerja mengolah bahan makanan setempat menjadi layak jual, tinggal di Desa Ndoriwoy dan Redodori. Karena di dua tempat inilah katanya pusat penangkapan ikan terbanyak. Juga, beberapa warga sudah pernah menerima pelatihan memasak. Sedangkan kelompok 1 semuanya tinggal di desa bernama Aejeti. Enaknya, yang wanita akan tinggal satu kamar satu rumah. Sedangkan yang pria terpisah. Letak Desa Aejeti ini jauh dari desa-desa lainnya karena ada dibalik bukit. Alasannya saya lupa kenapa mereka memilih disana tapi mereka setuju karena memang disana tempat yang pas untuk melaksanakan program kerja mereka.

Ah, betapa yang kuasa telah mengatur kami sehingga ini berjalan dengan baik dan pas.

Kami, yang satu kelompok terdiri dari 4 hingga 5 orang kecuali kelompok 1, dipisah di desa berbeda namun jaraknya katanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Sehingga kami bisa tetap berkomunikasi dengan baik sesama teman sekelompok. Kelompok 4 yaitu saya, Rinda, Nurul, dan Nisa harus berpisah tempat tinggal. Saya dan Rinda tinggal dirumah sederhana tapi indah di Desa Ndoriwoy sedangkan teman kelompok saya yang lain Nisa dan Nurul tinggal di Desa Redodori. Akhirnya semua desa ditinggali kami semua dengan adil. Aejeti, Rorurangga, Puutara, Paderape, Rendoraterua, Ndoriwoy, dan Redodori.
Kamar kami selama sebulan. Kamar ini
yang mengerjakan segala keperluan administrasi
geng Ende Kece.
Photo by: Kamera Samsung Ringsek Rucitra Deasy

Saatnya kami beristirahat pun tiba. Acara pertemuan dengan camat dan jajarannya usai. Saya dan Rinda diantar lagi oleh motor oleh Ka Adin di rumah baru kami. Ya, rumah sederhana itu bisa dibilang mewah dibanding rumah lainnya. Rumah itu sudah permanen dengan semen. Berbeda dengan beberapa rumah di kanan dan kirinya yang beberapa masih terbuat dari kayu-kayu. Ya, mereka memanjakan kami. Sesampai dirumah saya dan Rinda unpack lagi barang kami. Sekarang dengan bebas dan serampangan, kami bisa menaruh baju-baju kami. Karena kami akan tinggal cukup lama, tidak terus bergerak seperti sebelumnya. Hehe

Comments

Popular posts from this blog

Kukar yang Mengakar

Terbang jauh ke Pulau Kalimantan, bukan pertama kali tapi selalu berkesan. Mendarat di Balikpapan menyebrang ke Samarinda hingga berkelana ke Kutai Kartanegara. Dua kota, satu kabupaten, dalam satu waktu. Itu rute yang ditempuh untuk mencari akar sejarah bangsa. Lebih tepatnya, akar sejarah agama Hindu di Indonesia. Kukar, mereka menyederhanakan kabupaten bernama Kutai Kartanegara. Kukar yang Mengakar Saat itu, sekitar 300-an Masehi, cukup “jauh” dari tahun 2019. Kira-kira 1719 tahun yang lalu berdirilah satu kerajaan Hindu di Kutai. Raja pertamanya bernama Kudungga. Ia memiliki cucu yang bernama Mulawarman. Generasi ketiga dari Sang Kudungga itu meninggalkan tugu peringatan. Tugu itu diberikan oleh para Brahmana, sebagai “penanda” sifat kedermawanan Sang Mulawarman. Yupa ke 8, tak bisa sembarangan kita mengunjungi Yupa tersebut bahkan ketika didampingi oleh penjaga Yupa. Tugu yang dihadiahkan dari para Brahmana itu kini seolah menjadi akar sejarah. Sejarah mengenai k

Si Roco dan Dharmasraya yang Raya

Candi Induk di Kawasan Percandian Padang Roco Sumber: Omar Mohtar Mendaki bukit, melewati sungai, menyeruak rawa dan hutan, memanjat pagar, digigit nyamuk ganas dan berkunjung ke rumah ular. Setidaknya itu yang terlintas jika mengingat perjalanan ke Kabupaten Dharmasraya. Jangan bilang kalian baru dengar tentang Kabupaten Dharmasraya? Ya, saya juga baru dengar ketika harus ditugaskan kesana 2018 lalu. Sedikit informasi tentang Kabupaten Dharmasraya , kabupaten ini merupakan daerah hasil pemekaran kabupaten Sawahlunto/Sijunjung pada 2004. Seperti namanya, Dharmasraya begitu raya. Raya akan nilai sejarah dan tinggalan arkeologis. Konon, meskipun ini bisa dibuktikan dengan tinggalan berupa prasasti yang ditemukan, di Dharmasraya ini lah berdiri ibukota dari Kerajaan Melayu pada waktu itu. Pemandangan dari Candi Bukik Awang Maombiak Taken by: Omar Mohtar Menembus 200 kilometer jalan darat dari Bandara Minangkabau di Padang Pariaman menuju Dharmasraya, bahagianya

Pulau Indah nan Misterius itu Bernama Sagori

“ Mengenal Lebih Dekat Pulau Indah Bernama Sagori ” Adi dan Hana, Anak-Anak Bahagia di Pulau Sagori Pulau Sagori, nama yang asing oleh kebanyakan masyarakat Indones ia . Bahkan, di peta saja pulau ini belum tergambar. Namun ternyata pulau ini mengandung sejarah signifikan eksistensi kompeni Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie yang disingkat VOC pada saat melakukan pelayaran di lautan Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya kita dapat sedikit mengenal lebih dekat Pulau Sagori. Pulau Sagori terletak secara administratif di Kelurahan Sikeli, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Nama Sagori, konon menurut penduduk setempat didapatkan dari sebuah nama wanita yang pernah terdampar di pulau ini. Sebelum ia mati ia sempat menyebutkan kata “Sagori.. Sagori..” Terlepas apakah ini benar atau tidak namun cerita ini telah turun temurun tersampaikan. Lalu, apa pentingnya pulau yang tak dikenal banyak oleh masyarakat Indonesia bahkan tak ada