Skip to main content

Kapal Karam: Kekayaan Bawah Laut Indonesia Tak Ternilai

Masa lalu merupakan dasar untuk mengenal dan mengerti masa kini. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa suatu tinggalan warisan budaya patut diberikan perhatian khusus. Dari sekian banyak tinggalan arkeologis baik di daratan maupun di lautan memiliki nilai budaya yang sangat tinggi. Penelitian-penelitian di Indonesia awalnya masih condong terhadap peninggalan warisan budaya di daratan. Namun, kini sudah banyak ahli-ahli yang melirik arkeologi maritim.

Dari tinggalan warisan budaya bawah air ini kita tentu dapat mengenal bagai mana nenek moyang begitu gigih dalam meraih kejayaan masa lalu. Rakyat Indonesia pasti tahu lagu “Nenek Moyangku” dengan lirik,

nenek moyangku orang pelaut,
gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut,
menempuh badai sudah biasa,
angin bertiup layar terkembang,
ombak berdebur di tepi pantai,
pemuda berani bangkit sekarang,
ke laut kita beramai-ramai
Menjadi dasar adanya kepercayaan bahwa nenek moyang Indonesia merupakan seorang pelaut. Penggunaan laut baik sebagai sarana transportasi maupun sebagai tempat lahan sumber makanan sudah dapat kita lihat pada zaman prasejarah. Pendayagunaan laut ini terbukti dari adanya lukisan gua yang menggambarkan sebuah perahu di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, di salah satu pulau kecil, dimana ditemukan sebuah penggambaran perahu-perahu arwah. Selain pada masa prasejarah ditemukan juga pada masa berikutnya masa dimana tulisan sudah dikenal yaitu masa Hindu-Buddha. Bukti adanya penggunaan perahu yang menjadi awal mulanya suatu nilai warisan budaya bawah air pada masa Hindu-Buddha adalah adanya relief yang diterakan pada Candi Borobudur.


Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki luas lautan yang begitu luas. Wilayah laut Teritorial Indonesia memiliki luas + 5,9 juta km 2, terdiri dari 3,9 km 2 wilayah laut, dan 2 juta km2 wilayah daratan (perbandinganya adalah luas wilayah daratan hanya 1/3 dari wilayah perairan/laut). Indonesia memiliki 17.508 buah pulau besar dan kecil, baik berpenghuni maupun ko-song, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km.

Luas lautan itu membuat kegiatan maritim pun terus berlanjut hingga kini. Setelah masa Hindu-Buddha kemudian muncul lah masa kekuasaan Islam dan masa kolonial hingga saat moderen kini kegiatan maritim terus berlangsung. Namun, kegiatan maritim terdahulu ketika kedigjayaan masyarakat Indonesia masih berlangsung, terutama ketika masa-masa kerajaan Islam dan Belanda mulai menjajah juga negara-negara lain yang memiliki kepentingan terhadap nusantara dan melewati jalur-jalur perdagangan laut internasional di nusantara tetap meninggalkan jejaknya.

Ini terbukti dari hasil survey yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga. Lembaga-lembaga ini diantaranya adalah Sejarah Martitim Indonesia yang  menemukan ribuan kapal. Lembaga seperti  BRKP, LIPI, Dishidros TNI AL, dan Litbang Oceanologi menemukan 463 kapal. Arsip Organisasi Arkeologi di Belanda menemukan 245 kapal VOC. Tony Wells, Shipwreck dan Sunken Treasure menemukan sekitar 186 kapal VOC (Rahardjo, 2010).

Dari data tersebut di atas diketahui setidaknya ribuan kapal karam berada dibawah perairan Indonesia. Tentu tinggalan-tinggalan tersebut sangat memiliki nilai maupun makna yang tinggi. Nilai tersebut diantaranya adalah nilai akademis dari tinggalan tersebut dapat diketahui bahwa kapal pada masa itu merupakan sebuah mesin untuk menaklukan alam. Alam lautan yang sangat memerlukan keahlian khusus dalam mengendalikannya, menentukan arah angin, cuaca, astronomi, mengontrol mesin kapal itu sendiri tentu sangat sulit. Selain itu dari segi akademis akan diketahui bahwa kapal pada masa itu merupakan kelengkapan dari sistem pertahanan atau bagian dari sistem ekonomi, juga kapal sebagai ruang hidup sebuah komunitas karena terdapat banyak jenis alat transportasi air berdasarkan fungsinya (Rahardjo, 2010).

Selain nilai akademis nilai warisan budaya bawah air ini juga terdapat nilai luhur suatu kebudayaan maupun ideologis. Dari adanya pelayaran menggunakan kapal ini dapat diketahui sebuah identitas suatu negara bahwah dengan melakukan pelayaran maupun menerima pelayaran dari luar negara tersebut merupakan negara yang terbuka, berani, egaliter, toleran terhadap perbedaan. Juga menguasai pengetahuan dan teknologi kelautan (Rahardjo, 2010).

Selain nilai akademis, budaya maupun ideologi, tentu kita juga mengetahui bahwa benda-benda yang berada dalam kapal tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Nilai ekonomis tersebut dapat bersifat langsung maupun tidak langsung (Rahardjo, 2010). Nilai ekonomi yang bersifat langsung diantaranya adalah barang komoditi yang ditemukan didalam kapal tersebut. Tak jarang barang didalam kapal tersebut merupakan keramik-keramik maupaun benda berharga lain yang sangat tinggi harganya. Sedangkan nilai ekonomis yang tidak langsung adalah berupa obyek wisata.

Dari nilai-nilai warisan budaya bawah air Indonesia ini setidaknya dapat memberikan cerminan pada kita bahwa negara kita dulu merupakan negara yang begitu jaya. Sehingga banyak sekali negara luar yang menginginkan pertukaran barang di Indonesia. Nilai-nilai warisan budaya yang bersifat ekonomi terlebih sangat membantu bangsa Indonesia dalam masalah keuangan. Sehingga dari ribuan kapal tersebut tak sedikit keuntungan yang akan Indonesia dapatkan. Sudah saatnya Indonesia mulai peduli terhadap tinggalan-tinggalan warisan budaya bawah air. Terlebih dari nilai budaya menyadarkan kita akan kesadaran sebagai bangsa maritim yang jaya.

Comments

Popular posts from this blog

Kukar yang Mengakar

Terbang jauh ke Pulau Kalimantan, bukan pertama kali tapi selalu berkesan. Mendarat di Balikpapan menyebrang ke Samarinda hingga berkelana ke Kutai Kartanegara. Dua kota, satu kabupaten, dalam satu waktu. Itu rute yang ditempuh untuk mencari akar sejarah bangsa. Lebih tepatnya, akar sejarah agama Hindu di Indonesia. Kukar, mereka menyederhanakan kabupaten bernama Kutai Kartanegara. Kukar yang Mengakar Saat itu, sekitar 300-an Masehi, cukup “jauh” dari tahun 2019. Kira-kira 1719 tahun yang lalu berdirilah satu kerajaan Hindu di Kutai. Raja pertamanya bernama Kudungga. Ia memiliki cucu yang bernama Mulawarman. Generasi ketiga dari Sang Kudungga itu meninggalkan tugu peringatan. Tugu itu diberikan oleh para Brahmana, sebagai “penanda” sifat kedermawanan Sang Mulawarman. Yupa ke 8, tak bisa sembarangan kita mengunjungi Yupa tersebut bahkan ketika didampingi oleh penjaga Yupa. Tugu yang dihadiahkan dari para Brahmana itu kini seolah menjadi akar sejarah. Sejarah mengenai k

Si Roco dan Dharmasraya yang Raya

Candi Induk di Kawasan Percandian Padang Roco Sumber: Omar Mohtar Mendaki bukit, melewati sungai, menyeruak rawa dan hutan, memanjat pagar, digigit nyamuk ganas dan berkunjung ke rumah ular. Setidaknya itu yang terlintas jika mengingat perjalanan ke Kabupaten Dharmasraya. Jangan bilang kalian baru dengar tentang Kabupaten Dharmasraya? Ya, saya juga baru dengar ketika harus ditugaskan kesana 2018 lalu. Sedikit informasi tentang Kabupaten Dharmasraya , kabupaten ini merupakan daerah hasil pemekaran kabupaten Sawahlunto/Sijunjung pada 2004. Seperti namanya, Dharmasraya begitu raya. Raya akan nilai sejarah dan tinggalan arkeologis. Konon, meskipun ini bisa dibuktikan dengan tinggalan berupa prasasti yang ditemukan, di Dharmasraya ini lah berdiri ibukota dari Kerajaan Melayu pada waktu itu. Pemandangan dari Candi Bukik Awang Maombiak Taken by: Omar Mohtar Menembus 200 kilometer jalan darat dari Bandara Minangkabau di Padang Pariaman menuju Dharmasraya, bahagianya

Pulau Indah nan Misterius itu Bernama Sagori

“ Mengenal Lebih Dekat Pulau Indah Bernama Sagori ” Adi dan Hana, Anak-Anak Bahagia di Pulau Sagori Pulau Sagori, nama yang asing oleh kebanyakan masyarakat Indones ia . Bahkan, di peta saja pulau ini belum tergambar. Namun ternyata pulau ini mengandung sejarah signifikan eksistensi kompeni Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie yang disingkat VOC pada saat melakukan pelayaran di lautan Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya kita dapat sedikit mengenal lebih dekat Pulau Sagori. Pulau Sagori terletak secara administratif di Kelurahan Sikeli, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Nama Sagori, konon menurut penduduk setempat didapatkan dari sebuah nama wanita yang pernah terdampar di pulau ini. Sebelum ia mati ia sempat menyebutkan kata “Sagori.. Sagori..” Terlepas apakah ini benar atau tidak namun cerita ini telah turun temurun tersampaikan. Lalu, apa pentingnya pulau yang tak dikenal banyak oleh masyarakat Indonesia bahkan tak ada