Take a short break from writing the series of Buku Harian Merah, here is another writing that I write after a short and nice visit to Gong Pancasan for my college assignment. It might lack from good but here what I got after an interview with the owner and next owner.
Dentuman besi pukul 06.00 pagi sudah riuh terdengar dari Pabrik Gong Pancasan atau sering disebut Gong Factory. Pabrik Gong Pancasan merupakan sebuah kenyataan sejarah yang berlangsung hingga kini. Sungguh tidak banyak dijumpai di masa kini keberadaan dari sebuah kenyataan sejarah yang berlangsung lama dan berkesinambungan seperti yang terjadi pada Pabrik Gong Pancasan di Kota Bogor. Pabrik Gong yang sudah ada sejak 200 tahun lalu ini terletak di Jalan Pancasan No. 17, Bogor Selatan, Jawa Barat.
Pabrik gong satu-satunya di Jawab Barat ini merupakan sisa-sisa dari rangkaian panjang sebuah peradaban, sebuah benda yang dekat dengan rakyat Indonesia, sebuah benda yang dibawa beratus tahun lalu ke masa kini itu menjadi kebanggan masyarakat Indonesia umumnya dan warga Bogor khususnya.
Pabrik gong yang telah ada selama 200 tahun ini telah turun temurun dikelola oleh satu keluarga. Pemiliknya kini bernama Haji Sukarna dan merupakan turunan ke 5, begitu juga dengan pekerja didalamnya. Sebelum Haji Sukarna pabrik gong ini dikelola oleh Penarang, Budin, Zakim, dan Zufri yang kesemuanya adalah kakek dan ayah dari Haji Sukarna. Haji Sukarna yang sudah tua akan segera meyerahkan pengelolaan pabrik gong pada anak tertuanya, Krisna.
Menurut Haji Sukarna, dahulu di daerah Pancasan ini terdapat dua pabrik gong lainnya yang muncul ketika nama Pabrik Gong Pancasan yang dikelola oleh ayah dan kakeknya ini menuai sukses. Namun, seiring berjalannya waktu hanya Pabrik Gong Pancasan milik Haji Sukarna lah yang masih bisa bertahan hingga saat ini. Kunci kesuksesan pabrik gong nya ini menurut Haji Sukarna adalah karena pekerjanya. “Pekerja tahu komposisi logam. Tidak boleh kelebihan timah, tidak boleh kelebihan tembaga, harus sesuai” ujar Sukarna yang ditemui di rumahnya.
Pekerja yang membuat gong di pabriknya merupakan keturunan dari pekerja-pekerja sebelumnya. Sehingga para pekerja ini telah mengetahui dengan baik bagaimana komposisi logam yang tepat untuk membuat gong dan alat musik lainnya.
Dentuman besi pukul 06.00 pagi sudah riuh terdengar dari Pabrik Gong Pancasan atau sering disebut Gong Factory. Pabrik Gong Pancasan merupakan sebuah kenyataan sejarah yang berlangsung hingga kini. Sungguh tidak banyak dijumpai di masa kini keberadaan dari sebuah kenyataan sejarah yang berlangsung lama dan berkesinambungan seperti yang terjadi pada Pabrik Gong Pancasan di Kota Bogor. Pabrik Gong yang sudah ada sejak 200 tahun lalu ini terletak di Jalan Pancasan No. 17, Bogor Selatan, Jawa Barat.
Pabrik gong satu-satunya di Jawab Barat ini merupakan sisa-sisa dari rangkaian panjang sebuah peradaban, sebuah benda yang dekat dengan rakyat Indonesia, sebuah benda yang dibawa beratus tahun lalu ke masa kini itu menjadi kebanggan masyarakat Indonesia umumnya dan warga Bogor khususnya.
Pabrik gong yang telah ada selama 200 tahun ini telah turun temurun dikelola oleh satu keluarga. Pemiliknya kini bernama Haji Sukarna dan merupakan turunan ke 5, begitu juga dengan pekerja didalamnya. Sebelum Haji Sukarna pabrik gong ini dikelola oleh Penarang, Budin, Zakim, dan Zufri yang kesemuanya adalah kakek dan ayah dari Haji Sukarna. Haji Sukarna yang sudah tua akan segera meyerahkan pengelolaan pabrik gong pada anak tertuanya, Krisna.
Menurut Haji Sukarna, dahulu di daerah Pancasan ini terdapat dua pabrik gong lainnya yang muncul ketika nama Pabrik Gong Pancasan yang dikelola oleh ayah dan kakeknya ini menuai sukses. Namun, seiring berjalannya waktu hanya Pabrik Gong Pancasan milik Haji Sukarna lah yang masih bisa bertahan hingga saat ini. Kunci kesuksesan pabrik gong nya ini menurut Haji Sukarna adalah karena pekerjanya. “Pekerja tahu komposisi logam. Tidak boleh kelebihan timah, tidak boleh kelebihan tembaga, harus sesuai” ujar Sukarna yang ditemui di rumahnya.
Pekerja yang membuat gong di pabriknya merupakan keturunan dari pekerja-pekerja sebelumnya. Sehingga para pekerja ini telah mengetahui dengan baik bagaimana komposisi logam yang tepat untuk membuat gong dan alat musik lainnya.
Membuat kayu penghias gong dan alat musik lainnya Photo by Astrid Tanaya |
Para pekerja yang sedang menempa gong. Photo by Astrid Tanaya |
My self playing the instrument Photo by Astrid Tanaya |
Satu set gong yang telah jadi. It turns out as this beautiful! Photo by Astrid Tanaya |
Tidak sampai disitu, Pabrik Gong Pancasan
juga mengadakan acara pegelaran musik setiap akhir pekan atau pada saat ada
permintaan dari pengunjung. Biasanya pengunjung memainkan serangkaian alat
musik disebuah ruangan di lantai dua pabrik ini. Selama mengunjungi Pabrik Gong
Pancasan, yang memiliki antusiasme besar terhadap pabrik ini adalah
kunjungan-kunjungan dari wisatawan mancanegara. Tak henti-hentinya mereka
datang baik di hari kerja maupun saat akhir pekan untuk sekedar melihat proses
pembuatan, membeli, hingga ingin bermain dengan alat musik tradisional ini.
Peminat alat musik tradisional buatan Pabrik Gong Pancasan dapat membeli alat musik ini dengan harga berkisar dari Rp. 2.000.000 hingga Rp. 10.000.000. Harga ini dapat berubah sesuai dengan harga logam yang bergejolak. Tak hanya peminat dalam negeri, pabrik gong ini menurut Haji Sukarna pernah mengirim beberapa set alat musik ke Amerika dan Jerman.
---
Gong Pancasan: A Continuity of History
A brattle
of an iron at 6.00 am is already boisterous at Pabrik Gong Pancasan or often
called Gong Factory. Pancasan Gong Factory is continous history that exist
until nowadays. It is really rare to find nowadays a continuous fact of history
for this long time like in Pancasan Gong Factory in Bogor, Indonesia. A factory
that already exist since 200 years ago is located at Jalan Pancasan No 17,
Bogor Selatan, Jawa Barat, Indonesia.
This one and only gong factory in West Java is a
remain from a long civilization. An entity that so close to an Indonesian folk.
An entity that brought from a thousands years ago to present time is now became
a proud of Indonesian citizens at it’s general and Bogor citizens at it’s
specialty.
Pancasan Gong Factory is hereditery managed by
one family. A present owner is named Sukarna and have a titled as Hajj. He is a
fifth generation from his family and so do the worker inside the factory.
Before Sukarna own this factory, Penarang, Budin, Zakim, and Zufri is named as
the owner and this all are great grandfather, grandfather, and father of
Sukarna. The old Sukarna will soon give the management of the factory to his
first child Krisna.
Sukarna then telling a history about the
factory. He said that there were another two gong factory in Pancasan are after
his gong factory gain it’s success. But, as the time goes by only his gong
factory can survive until now. He said that the key of his success is the worker.
“Worker now the metal composition. It can’t put lots of tin and copper. The
composition has to be exact.” said Sukarna that us met in his house.
A worker that made a gong is a descent from the
former worker. So these worker is already know it so well how the metal
composition should be to make a gong and another music instrument.
Beside the workers, by looks of the factory that
have a strong innovatif motion is also another key of success from my point of
view. Nowadays, not only gong that being offered by the factory, but also
another music instrumental. The factory that use tin and copper as the basic of
variety of music instrumental is also produce saron and bonang. Another
traditional music instrumental from Java, Indoensia. Not only that, they also
made the wood craft as a complimentary for the music instrumental.
Moreover, this factory is also held a music
performance event every weekend or when there’s a request from a visitor. Usually
the visitors playing a series of music instrument in a room at second floor at
the factory. As I visit this place several times, who shows a great interest in
the factory are foreigner and not many local people been there. The tourist
nonstop coming both in the weekdays and weekend just for seeing the process of
the making, buying, until playing with these traditional music instrument.
For whom is interest to buy the music instrument
you can but it at around 2 million rupiahs until 10 million rupiahs. This price
is applied at 2012. The gongs Sukarna said is not only from local but also from
United States and Germany.
Comments
Post a Comment