Skip to main content

Buku Harian Merah, 26 Juni 2011: Menghadiri Pernikahan orang-orang Ende!

Raja dan Ratu Malam Itu
By. Kamera Samsung Ringsek Rucitra Deasy
Hari Minggu pertama di Pulau Ende! Banyak sekali perayaan pernikahan hari ini di berbagai desa di Pulo. Di desa dimana saya dan Rinda tinggal yaitu Ndoriwoy dari pagi sebelum kami memulai aktivitas ke Rumah Kreatif hiruk pikuk mempersiapkan pernikahan sudah dimulai. Dari banyaknya pernikahan ini banyak sekali akses jalan yang tidak bisa dilewati kendaraan. Tapi jika berjalan kaki tentu saja bisa.

Back view of the Gawi and Ja'i dancer. Spot Nisa there! Hehe,
Saya juga nari tapi tak punya foto saya sendiri. Hehe
By. Hp Nokia C3 Rucitra Deasy
Hari Minggu pun kami pergi beraktivitas ke Rumah Kreatif dengan gembira, karena kami harus segera membuka rumah tersebut! Pukul 09.30 kami sampai dan kami melanjutkan pekerjaan kami yang belum terselesaikan kemarin.

Selain kegiatan kami di RK hari ini kami untuk pertama kalinya dikunjungi oleh dosen pembimbing kami dari Universitas Flores yaitu Bapak Vian. Dalam pertemuan yang amat singkat itu kami berdiskusi mengenai program-program yang akan kami lakukan selama kurang lebih satu bulan. Akhirnya usai diskusi, diputuskan untuk tidak membuka RK pada hari Senin karena masih banyak sekali yang harus dikerjakan. Namun, meskipun RK belum resmi dibuka tapi kami tidak menutup RK untuk didatangi oleh warga. Minggu di Pulo pun hinggap sore hari. Kami menutup RK lebih cepat dari biasanya karena hujan deras datang. Waa! Hujan di Pulo! Hehe.

Malam di Pulo pun menyapa. Puncak perayaan pernikahan di gelar malam hari. Ramai sekali. Kami pun (saya dan Rinda) diundang ke pernikahan yang ada di Desa Redodori meskipun kami tinggal di Ndoriwoy. Ndoriwoy dan Redodori adalah desa yang bersebelahan. Malam itu, tetangga-tetangga desa Ndoriwoy menjemput kami untuk pergi bersama ke Redodori. Bingung karena tak punya baju yang pantas untuk menghadiri undangan, Ibu-ibu dan adik-adik gadis Desa Ndoriwoy pun meminjami kami baju daerah mereka. Hahahhahaha. Lihat diri sendiri pakai baju yang Ibu-ibu dan adik-adik pakai jadi lucu. 

Bersama Mamak yang mengasuh
kami selama disana dan Rinda sebelum menghadiri pernikahan.
Itu yang kami pegang kado untuk pengantin. Hehehe.
By. Hp Nokia C3 Rucitra Deasy
Lalu, datanglah kami ke pernikahan tersebut dengan membawa bingkisan yang biasanya disana mengadokan kue, sabun mandi, shampoo, atau alat-alat perlengkapan sehari-hari lainnya. Seusai bertemu pengantin dan makan malam yang diberikan sebagai nasi kotak (ya tidak seperti umumnya kita yang prasmanan), saatnya tiba untuk menari. Ya, sebuah tradisi bagi mereka untuk menari dalam tiap pesta. Malam itu pun saya, Rinda dan juga Nisa dan Nurul yang tinggal di Redodori menari. Tari Gawi dan Ja'i namanya. Lagu yang mengiri tarian kami juga sangat ear catchy. Hehehe.

Saya sendiri dan Aini yang baik hati
yang selalu menemani kami kemana saja!
By. Hp Nokia C3 Rucitra Deasy
Usai  berpesta kami pun segera pulang.. Malam yang penuh pengalaman baru di Pulo Ende.


Comments

Popular posts from this blog

Kukar yang Mengakar

Terbang jauh ke Pulau Kalimantan, bukan pertama kali tapi selalu berkesan. Mendarat di Balikpapan menyebrang ke Samarinda hingga berkelana ke Kutai Kartanegara. Dua kota, satu kabupaten, dalam satu waktu. Itu rute yang ditempuh untuk mencari akar sejarah bangsa. Lebih tepatnya, akar sejarah agama Hindu di Indonesia. Kukar, mereka menyederhanakan kabupaten bernama Kutai Kartanegara. Kukar yang Mengakar Saat itu, sekitar 300-an Masehi, cukup “jauh” dari tahun 2019. Kira-kira 1719 tahun yang lalu berdirilah satu kerajaan Hindu di Kutai. Raja pertamanya bernama Kudungga. Ia memiliki cucu yang bernama Mulawarman. Generasi ketiga dari Sang Kudungga itu meninggalkan tugu peringatan. Tugu itu diberikan oleh para Brahmana, sebagai “penanda” sifat kedermawanan Sang Mulawarman. Yupa ke 8, tak bisa sembarangan kita mengunjungi Yupa tersebut bahkan ketika didampingi oleh penjaga Yupa. Tugu yang dihadiahkan dari para Brahmana itu kini seolah menjadi akar sejarah. Sejarah mengenai k

Si Roco dan Dharmasraya yang Raya

Candi Induk di Kawasan Percandian Padang Roco Sumber: Omar Mohtar Mendaki bukit, melewati sungai, menyeruak rawa dan hutan, memanjat pagar, digigit nyamuk ganas dan berkunjung ke rumah ular. Setidaknya itu yang terlintas jika mengingat perjalanan ke Kabupaten Dharmasraya. Jangan bilang kalian baru dengar tentang Kabupaten Dharmasraya? Ya, saya juga baru dengar ketika harus ditugaskan kesana 2018 lalu. Sedikit informasi tentang Kabupaten Dharmasraya , kabupaten ini merupakan daerah hasil pemekaran kabupaten Sawahlunto/Sijunjung pada 2004. Seperti namanya, Dharmasraya begitu raya. Raya akan nilai sejarah dan tinggalan arkeologis. Konon, meskipun ini bisa dibuktikan dengan tinggalan berupa prasasti yang ditemukan, di Dharmasraya ini lah berdiri ibukota dari Kerajaan Melayu pada waktu itu. Pemandangan dari Candi Bukik Awang Maombiak Taken by: Omar Mohtar Menembus 200 kilometer jalan darat dari Bandara Minangkabau di Padang Pariaman menuju Dharmasraya, bahagianya

Pulau Indah nan Misterius itu Bernama Sagori

“ Mengenal Lebih Dekat Pulau Indah Bernama Sagori ” Adi dan Hana, Anak-Anak Bahagia di Pulau Sagori Pulau Sagori, nama yang asing oleh kebanyakan masyarakat Indones ia . Bahkan, di peta saja pulau ini belum tergambar. Namun ternyata pulau ini mengandung sejarah signifikan eksistensi kompeni Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie yang disingkat VOC pada saat melakukan pelayaran di lautan Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya kita dapat sedikit mengenal lebih dekat Pulau Sagori. Pulau Sagori terletak secara administratif di Kelurahan Sikeli, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Nama Sagori, konon menurut penduduk setempat didapatkan dari sebuah nama wanita yang pernah terdampar di pulau ini. Sebelum ia mati ia sempat menyebutkan kata “Sagori.. Sagori..” Terlepas apakah ini benar atau tidak namun cerita ini telah turun temurun tersampaikan. Lalu, apa pentingnya pulau yang tak dikenal banyak oleh masyarakat Indonesia bahkan tak ada